Curhat dengan Kakak – Anak Perempuan Pertama dalam Keluarga

3 komentar

 

Curhat dengan Anak Perempuan Pertama dalam Keluarga


Bismillaahirrohmaanirrohim

Halo sobats,,, di Hari Minggu ini kebetulan aku bertemu ponakan, anak dari kakak perempuanku. Saat aku berkunjung ke rumahnya, ibunya atau kakakku bercerita dan mengeluhkan kepadaku tentang kebiasaan yang kurang baik yang dilakukan putrinya. Padahal dia sudah sering dan rajin mengingatkan kalau kebiasaan itu tidak baik. Karena hal itulah, aku yang juga pernah muda dan merasakan jiwa-jiwa membara, ikut tergerak untuk mendekati kakak, atau anak perempuan pertama kakakku tersebut.


Mengapa aku berinisiatif untuk ngobrol santai atau mendekati keponakanku tersebut? Karena aku dulu juga banyak dikasih tahu oleh kakakku yang tak lain ibu dari keponakanku itu. Namun reaksiku dulu sangatlah berbeda. Kalau aku dulu mendengarkan secara langsung, sekalipun sesekali masih membantah, walau dipikir-pikir kembali apa yang sebenarnya disampaikannya itu sangatlah benar untuk saat ini. Maka aku baru menyadari, kenapa dulu masih muda ada saja akalnya untuk melanggar atau tidak mendengarkan ucapan kakakku.


Karena mungkin masih jiwa-jiwa mudanya sedang menggelora, jadi tidak sampai memikirkan efek jangka panjangnya seperti apa. Sehingga menyimpulkan sebagai kalimat “sok tahu”, “beda case”, “kaku”, dan lain sebagainya. Padahal apa pun nasihat yang diberikan mereka sangatlah related dengan kehidupan diri setelahnya. Yang bisa dikatakan telat menyadari.


Belajar dari itulah, aku dan kakakku yang berbeda watak ini memberikan nasihat dengan cara yang berbeda sekalipun tujuannya sama. Ingin mengarahkan kakak untuk mengubah kebiasaan buruk menjadi lebih baik. Lalu, seperti apa obrolan yang kami bahas? Simak terus ya.


Curhat dengan Anak Perempuan Pertama dalam Keluarga


Walau aku bukan anak pertama dalam keluarga, dikarenakan teman dekat bahkan kenalanku ada yang berada di posisi yang sama, membuatku bisa menarik kesimpulan, bahwa ada hal yang sebenarnya tengah disembunyikan kakak sebagai anak tertua dalam keluarga dengan usia belasan tahun yang biasa disebut belia. Apalagi dia merupakan anak pondok pesantren. Sehingga lebih kompleks hal yang seharusnya bisa dibicarakan dengannya. 


Tapi karena urusan lebih dalamnya bukan tanggung jawabku, jadi aku hanya ngobrol dengannya sekalipun dia tidak memberikan jawaban apapun kecuali aku tanya. Serta respons berupa ekspresi sedih, dan akhirnya muncullah hujan yang luruh di pelupuk matanya.


Berikut ini hal pokok yang aku sampaikan ke kakak, yang akhirnya membuatnya tersedu-sedu di kamarnya:


1. Mencari Sosok Kakak Laki-Laki atau Perempuan

Sebagai anak perempuan pertama dalam keluarga, tentu harapan yang dibebankan kepada kakak lebih besar daripada adik-adiknya, apalagi menjadi sosok panutan yang baik. Sehingga tidak heran jika akhirnya mereka berpikiran, bagaimana seandainya punya kakak laki-laki atau perempuan untuknya agar bisa dijadikan tempat curhat atas keluh kesahnya. 


Begitu awal pembicaraan aku buka dengan ucapan ini, dia mulai memalingkan wajah dariku, dan seperti ada yang keluar dari dalam tubuhnya, seperti reaksi tertahan yang akhirnya bisa keluar berupa emosi.


Dalam hal ini aku menyampaikan, nggak papa kalau dia ingin punya sosok kakak entah laki-laki atau perempuan yang dapat berbagi cerita dengannya. Asalkan kita tidak menggunakan hal ini dengan agar bisa dekat dengan lawan jenis untuk menemukan sosok tersebut pada mereka.


Aku juga menyampaikan, kalau kakak punya beban yang tak tertahan dan terasa sangat berat. Nggak papa kok kalau ingin cerita dengan orangtua. Apalagi mereka melek dengan kondisi seperti sekarang ini. Biar mereka juga tahu apa yang kakak rasakan juga. Tapi biacaranya tunggu adik-adik tidur ya. Yang sekiranya tenang untuk berbicara secara empat mata.


2. Aturan Berpakaian

Ada yang beranggapan kalau kakak itu memiliki aturan dengan standar ganda yang ditetapkan. Dan belum tentu adik bisa mendapatkan standar yang sama juga. Apalagi beda keluarga, beda pula cara mendidik atau parenting untuk kakak maupun adik terkait aturan tertentu.


Karena kami tinggal di area yang dulunya merupakan pondok pesantren lawas, sehingga mau tidak mau cara berpakaian yang sopan khususnya perempuan sangatlah diperhatikan, bukan? Tidak sembarang untuk menggunakan pakaian, apalagi untuk mengikuti fashion dengan tema outfit of the day yang tidak jarang kurang diperhatikan esensi berpakaiannya cukup baik, atau terlalu berlebihan.


Aku menyampaikan padanya, bahwa kakak juga merupakan santri pondok pesantren, tentu paham bahwasanya menggunakan pakaian  yang press-body itu tidak baik. Yakin tidak bakalan mengundang laki-laki untuk memperhatikan kakak?


Bukan jaminan. Di sini aku juga cerita, bahwa yang tertutup saja bisa menimbulkan syahwat, apalagi yang terbuka? Fakta dan kondisi lapangan ya.


Mungkin di sini dia belum paham, jadi dia merespon ucapanku bahwa bajunya tidak begitu ketat kok, menurutnya. Lalu aku menimpali dengan amat sangat calm. “Itu anggapan kakak. Berbeda dengan yang laki-laki pikirkan di sana, kak”. Mungkin alangkah lebih baik lagi kalau kakak menggunakan pakaian yang sekiranya tidak membentuk lekukan tubuh ya. Sekalipun ingin bisa tampil seperti OOTD di internet.


3. Tingkah Laku Yang Diatur Karena Background

Bukan tanpa alasan mengapa kakak mendapat standar ganda seperti tidak boleh ini, itu, kurangi ini itu, mana yang sekiranya pantas, mana yang bukan. Di bagian ini dia sudah menangis dengan senggukan beberapa kali. 


FYI, Kakak juga merupakan santri di salahsatu pesantren, terlebih tinggal di kawasan yang dekat dengan sisi keagamaann dan juga warganya. Tentunya ada kebebasan yang tidak bisa dirasakan dengan background demikian. 


Ada ungkapan ketika santri keluar dari pondok pesantren, semisal saat balikan pondok untuk memperingati hari-hari islam di kalender, biasanya mereka pulang untuk sekian hari saja. Jika hal ini demikian, ada santri yang membawa hal baik dari pondok saat sampai di tempat tinggal. Ada juga yang merasa keluar dari penjara suci. Sehingga tidak asing jika ada istilah “seperti burung keluar dari sangkarnya”. Bisa berlari bebas


Karena background tersebut, aku menyampaikan. Boleh kalau seandainya berinteraksi dengan lawan jenis. Tapi perhatikan intensitasnya. Kalau tidak kenal jangan ditanggapi. Bukan dengan senang hati menanggapi setiap pesan dari mereka-mereka. Kakak harus bersikap tegas, kira-kira baik nggak ya? Yang mana hal ini juga berhubungan dengan poin di nomor 1.


Kesimpulannya 


Dari sharing dengan kakak, aku sambil ngobrol santai secara tidak langsung ikutan nangis juga. Membayangkan atau menarik ulang sosok aku dulu pada kakak yang sudah sedikit reda dan kembali bersuara. Aku tidak ingin dia merasa sendiri, lalu melampiaskan dengan hal yang tidak baik. Apalagi di usianya yang sangat muda tersebut.


Di akhir aku menyampaikan kembali, orangtua memberi tahu hal-hal yang menurut kakak tidak baik itu bukan berarti apa. Mereka sayang, mereka peduli, sekalipun tanggapan kakak justru sebaliknya. Jika mereka tidak cerewet ini itu, kakak yang seperti dibiarkan. Terlepas itu baik atau buruk. 


Memang apa yang mereka katakan biasanya tidak dirasakan manfaatnya sekaligus. Tapi yakinlah di masa mendatang, kakak akan mengenang apa yang sudah orangtua kakak pernah sampaikan ke kakak dulu. 


Nggak papa kalau kakak curhatnya ke ibu saja. Cukup empat mata saja, kakak bisa ngobrol santai dengan ibu. Biar ibu bisa tahu yang kakak rasakan, beban, atau tekanan lain yang mungkin orangtua tidak tahu. 


Akhirnya, sesi ngobrol santainya berakhir, walau tidak ada pelukan atau apapun. Di sore hari ketika aku bertemu dengannya, dia sudah bisa memunculkan senyum manisnya, dan alhamdulillah semoga bisa lebih baik kedepannya. Dan tentunya, kakak bisa dekat dan ngobrol dari hati ke hati pada orangtuanya.


Hmhh... walau belum punya anak, mungkin hal seperti ini yang bakalan aku lakukan untuk anakku nanti. Bahkan saat ngobrol dengan keponakanku tersebut. Aku seperti ngobrol dengan diriku sendiri. Sekalipun posisi kami berbeda. Hehehee


Ya itu dia, sesi sharing antara aku dan keponakan yang merupakan anak pertama dalam keluarga. Jika kamu memiliki hal-hal yang related dengan ini. Dengan senang hati, boleh donk share di kolom komentar ya. 


Sampai jumpa di postingan berikutnya.

Salam hangat

Mbak Ruroh

Related Posts

3 komentar

  1. Anak perempuan pertama hadir. Yeah. Jadi anak pertama apalagi perempuan emang lebih berat.


    Alhamdulillah kalau bisa ngobrol dari hati ke hati ama keponakan yg berstatus anak pertama ya. Bisa kasih nasehat dgn lembut.

    BalasHapus
  2. Ah..jadi teringat almh kakak Perempuanku yg anak pertama, sahabat pertamaku alias teman curhat yg paling enaaak.. Dan betul banget bahwa anak pertama selalu membawa beban lebih..apalagi perempuan . Bersyukur bisa ngobrol santai tapi bermakna dg ponakan seperti ini mba .. Terimakasih sharingnya ya...

    BalasHapus
  3. MasyaAllah, bahagiaaaa punya aunty yang mau diajak curhat begini. Aku ngerti apa yang si kakak rasakan terutama poin ingin bisa "dimanja" oleh kakak laki-laki atau kakak perempuan. Jadi cucu pertama di keluarga, perempuan pula, bebannya berat. Seolah dipaksa tangguh sedari belia, wajib jadi contoh juga, sementara jiwa itu ingin bisa bebas berekspresi (nggak mau selalu merasa punya beban itu) makanya jadi sering menyembunyikan keresahan sendiri. Bersyukur dulu ada omku yang usianya nggak jauh dan kuanggap "kakak laki-laki" padahal dia ya adik bungsu mamaku. Semoga si kakak tumbuh mendewasa sebagai perempuan tangguh dan lembut hatinya. Aamiin.

    BalasHapus

Posting Komentar